Selaksa Senyum Sagiman: Bangun Harapan & Mimpi Anak-Anak Talang Mamak
Selasa, 29 Oktober 2024 - 10:51:00 WIB
"Bermimpi dan Berdoalah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu itu."
Andrea Hirata, Sang Pemimpi
Oleh: Andy Indrayanto
SAGIMAN melajukan motornya pelan, melibas jalan tanah becek dan berlumpur. Dihindarinya tanah liat yang membentuk gundukan berlumpur dan kubangan air kecoklatan yang keruh di sana-sini, agar roda bannya tak selip. Dia harus hati-hati, karena beberapa hari lalu dirinya hampir jatuh dari kuda besinya karena rodanya terselip gundukan lumpur.
Hujan yang mengguyur Kecamatan Rakit Kulim tadi malam, membuat akses jalan menuju sekolah marginal di Desa Talang Sei Limau, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) semakin parah jika tak mau disebut hancur. Jalan berupa tanah liat itu membuat akses menuju sekolah marginal tempatnya mengajar harus ekstra hati-hati saat mengendarai motornya. Belum lagi kubangan di sana-sini yang membentuk kolam-kolam mini berair keruh, jika tak waspada akan menjerembabkan motornya dalam kubangan air kecoklatan.
Tawa kanak-kanak terdengar di depan Sagiman yang masih melajukan motornya dengan pelan. Dia tahu, itu suara tawa anak didiknya yang tengah berjalan menuju arah yang sama: sekolah marginal yang berada di tengah hutan. Dilihatnya ada delapan, sembilan, oh, sepuluh anak didiknya baru keluar dari jalan setapak hutan.
Anak-anak umur belasan milik masa depan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) itu begitu riang bercanda sesamanya, seolah-olah tak pernah terbayang jika ratusan kilo dari mereka, anak-anak seusia mereka tengah bergulat dengan buku pelajaran di kelas-kelas yang nyaman bahkan mungkin ber-AC dan dengan buku-buku pelajaran yang lengkap dan bersepatu bermerk.
Tapi lihatlah mereka - anak-anak suku Talang Mamak itu - harus menempuh jarak 5 sampai 8 kilo untuk sampai ke tempat belajar. Bangunan mereka belajar bukan layaknya sekolah berdinding tebal dan kaca-kaca mengkilat serta bangku duduk nyaman yang ada tempat tasnya, namun dinding sekolah mereka terbuat dari buluh bambu dengan atap rumbia dan beralas tanah.
Kondisi mengenaskan hati ini tak membuat semangat anak-anak Suku Talang Mamak menjadi luntur. Mereka tetap bersemangat menempuh jarak yang jauh menembus hutan untuk bersekolah, melewati jalur setapak diapit hutan adat yang rimbun di kiri-kanannya, tapi tetap riang menemui Sagiman dan tutor yang lain untuk mendapatkan pendidikan.
Semangat anak-anak Suku Talang Mamak itulah yang membuat Sagiman mengenyahkan rasa lelah dan bosan meski harus menempuh jarak 25 kilo dari rumahnya menuju sekolah marginal.
Dibenak laki-laki lulusan Universitas Terbuka Pokja Kelayang Kabupaten Inhu ini, anak-anak suku Talang Mamak itu bagai "Laskar Pelangi" di kabupaten yang dijuluki Bumi Serumpun Sebalai ini. Novel anak-anak Laskar Pelangi besutan Andrea Hirata bagai menjelma dalam diri anak-anak suku Talang Mamak yang rela menempuh jarak dan akses yang tak memadai itu hanya untuk mendapatkan ilmu.
Semangat tak pantang menyerah dengan kondisi dan situasi yang dialami anak-anak suku Talang Mamak inilah yang membuat ghirah atau semangat itu menulari Sagiman dan rekan-rekan lainnya yang mengajar di sekolah marginal untuk terus gigih dan konsisten memberikan layanan pendidikan yang baik dan terbaik, sebatas kemampuan mereka.
"Kehadiran kami sangat dinanti oleh anak-anak suku Talang Mamak itu. Bagi saya, mereka bagai anak-anak "Laskar Pelangi" dari Talang Mamak. Mereka punya potensi besar, juga punya harapan dan mimpi, sama seperti anak kota lainnya seusia mereka." Ada sinar optimis keluar dari mata Sagiman, saat menceritakan anak didiknya dari suku pedalaman itu.
Sosok guru Sagiman yang membangun harapan dan mimpi anak-anak Suku Talang Mamak yang mengajarkan pendidikan pada mereka, saat masih mengajar di SDN 028 Talang Sei Limau. (istimewa)
Tiba di sekolah, Sagiman disapa dan disambut sejumlah murid yang menghampirinya. Ada yang mengenakan seragam sekolah, banyak juga yang mengenakan baju bebas. Tak ada satu pun yang memakai sepatu bermerk, beberapa ada yang memakai sendal bahkan tak beralas kaki. Sagiman menghampiri mereka dan menyalaminya satu-persatu. Riang tawa khas dunia anak-anak menembus langit Inhu di pagi akhir September itu, bersama kilat kebanggaan yang terpancar dari mata Sagiman melihat semangat anak-anak didiknya dari suku pedalaman itu.
Sejak berdiri di tahun 2004, Sagiman sudah mengabdi di sekolah marginal yang berada di tengah hutan itu. Sekolah yang dulu saat berdiri masih beratap rumbia dan beralas tanah itu, masih belum tersentuh listrik apalagi internet. Sekolah yang jauh dari pemukiman penduduk, berada di tengah hutan, dikepung hutan-hutan adat milik Suku Talang Mamak. Karena itu, nyaris 100 persen siswa di sekolah tersebut adalah anak-anak pedalaman Suku Talang Mamak.
Dilansir dari Wikipedia, suku Talang Mamak merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara tradisional di hiliran Sungai Indragiri, Provinsi Riau, Indonesia. Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli Indragiri Hulu yang tinggal di pedalaman kabupaten tersebut. Sampai saat ini, Suku Talang Mamak masih hidup dengan tradisi leluhurnya.
"Waktu awal sekolah marginal berdiri tahun 2004-2005, kondisinya masih memprihatinkan sekali. Lantai sekolah masih tanah, atap rumbia dan dinding dari bambu. Anak-anak Talang Mamak yang mau bersekolah pun tak ada yang memakai seragam, bahkan sepatu pun tak ada," kenang Sagiman menceritakan kisah sedihnya di awal-awal pendirian sekolah marginal bagi anak-anak suku Talang Mamak itu pada penulis, akhir September lalu.
Pada awalnya, dia bersama sembilan rekan-rekan guru lainnya ditugaskan Dinas Pendidikan Provinsi untuk memberantas anak buta atau mengajarkan Calistung di pinggiran atau di pedalaman pelosok desa termasuk Desa Talang Sungai Limau. Murid-muridnya bukan hanya anak-anak tapi orang dewasa bahkan orang tua mereka juga yang merupakan asli orang-orang suku Talang Mamak.
"Mungkin mereka penasaran dengan Calistung, sekolah atau pendidikan itu," terang Sagiman pada Halloriau.com, dalam suatu kesempatan.
Masyarakat pedalaman Suku Talang Mamak saat itu masih memiliki penolakan yang kuat untuk bidang pendidikan. Mereka khawatir pendidikan justru akan melunturkan nilai-nilai adat istiadat yang selama ini dipegang teguh oleh mereka. Karena mereka beranggapan bahwa anak-anaknya akan terpengaruh budaya luar setelah mengenal pendidikan.
"Ada adagium yang mereka pegang teguh, yakni Lebih baik Mati Anak daripada Mati Adat! Itu artinya, kalaulah mati anak bisa dilihat kuburannya tetapi kalau mati adat kemana hendak kita cari. Itu prinsip masyarakat Talang Mamak," tegas Sagiman.