Hingga Juli 2022, Ada Ratusan Janda Baru di Pekanbaru, Didominasi Faktor Perselisihan Suami Istri
Sabtu, 06 Agustus 2022 - 10:59:31 WIB
 |
Januari hingga Juli 2022 Pengadilan Agama Pekanbaru sudah menangani 841 kasus perceraian (foto/ilustrasi) |
PEKANBARU- Provinsi Riau termasuk menjadi wilayah di Indonesia yang tercatat banyak kasus perceraian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 saja, Riau menduduki peringkat sembilan tertinggi tingkat perceraian di Indonesia, yaitu sebanyak 12.722 kasus.
Dilansir dari Antarariau.com, Humas Pengadilan Agama Pekanbaru Asfawi menjelaskan untuk wilayah Pekanbaru sendiri sepanjang 2021 tercatat 1.756 perceraian yang telah diputuskan. Lalu Januari hingga Juli 2022 Pengadilan Agama Pekanbaru sudah menangani 841 kasus perceraian.
Serupa dengan tahun 2021, perselisihan dan pertengkaran menjadi indikator tertinggi penyebab perceraian dengan 689 kasus. Usia suami istri yang bercerai beragam, yaitu 30 hingga 50 tahun. Untuk pasangan di bawah 20 tahun ada, namun jumlahnya sangat minim.
"Paling banyak itu di usia 30 tahun ke atas. Yang baru menikah juga ada yang mengajukan perceraian, namun itu juga tak banyak," sebut Asfawi, Jumat (5/8/2022).
Faktor tersebut sesuai pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
"Perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor terbanyak dengan total 1.542 kasus. Pemicunya bisa jadi suami tak bertanggungjawab," sebut Asfawi.
Kota Pekanbaru sendiri kasus perceraian kebanyakan diajukan pihak istri, atau disebut cerai gugat. Penyebabnya bermacam-macam, suami tak bertanggungjawab, meninggalkan istri, hingga faktor ekonomi.
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Pekanbaru, selain perselisihan, meninggalkan salah satu pihak menjadi faktor kedua terbanyak penyebabnya perceraian, yaitu sebanyak 168 kasus. Disusul dengan faktor dihukum penjara 19 kasus, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 7 kasus, kawin paksa 5 kasus, poligami 2 kasus, dan cacat badan 1 kasus.
Asfawi menilai, selama pandemi COVID-19 dua tahun belakangan angka perceraian memang lebih tinggi, namun tak mencatat perbedaan yang signifikan.
"Selama COVID-19 memang meningkat, entah karena PHK sehingga memburuknya perekonomian, tapi tak terlalu banyak. Sebelum pandemi perkaranya seperti itu juga. Jadi tak mencolok," sebutnya. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :