www.halloriau.com


BREAKING NEWS :
Dalam Satu Malam, Mata Elang Polres Kuansing Ungkap 2 Kasus Narkoba
Otonomi
Pekanbaru | Dumai | Inhu | Kuansing | Inhil | Kampar | Pelalawan | Rohul | Bengkalis | Siak | Rohil | Meranti
 


Absennya Hati Nurani Hakim Dalam Memutus Perkara Kekerasan Seksual di Unri
Kamis, 08 September 2022 - 12:35:25 WIB

PEKANBARU - 30 Maret 2022, puluhan mahasiswa mengenakan almamater berwarna biru langit berkumpul di depan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Seratusan polisi berbaris menghadap mereka, menghalangi masuk ke dalam gedung. Tidak ada seruan khas mahasiswa ketika demo, tidak ada alunan Mars Mahasiswa ataupun tinju-tinju terkepal ke udara. Yang terdengar justru isak tangis memilukan, tak peduli dari laki-laki atau perempuan.

Mereka adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) yang hari itu datang memang bukan untuk demo, melainkan untuk menghadiri sidang putusan atas kasus kekerasan seksual yang menimpa Bintang-bukan nama sebenarnya-meski tak diizinkan masuk oleh petugas. Bintang adalah teman mereka, seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional (HI) yang mengalami kekerasan seksual pada 27 Oktober 2021. Terduga pelaku adalah SH, Dekan FISIP Unri.

Namun, harapan keadilan akan ditegakkan pupus ketika tiga hakim PN Pekanbaru yang menangani kasus itu-Estiono, Tommy Manik, Yuli Artha Pujayotama-justru memberi vonis bebas pada SH. Dalam pembacaan vonis, hakim menjabarkan bahwa tidak cukup alat bukti untuk memberatkan SH sebab tidak ada orang lain atau saksi lain yang melihat langsung bahwa kekerasan seksual itu memang terjadi.

"Pertama, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindakan pidana sebagaimana dakwaan primer pasal 289 KUHP dan dakwaan subsider. Kedua, membebaskan terdakwa dari dakwaan primer dan subsider. Tiga, memerintahkan jaksa penuntut umum untuk membebaskan terdakwa dari tahanan dan agar dipulihkan haknya," kata Estiono.

Palu diketuk, puluhan mahasiswa yang telah menunggu di luar gedung PN Pekanbaru terperangah tak percaya.

"Gimana Bintang? Ini enggak adil, demi Allah ini enggak adil," isak seorang mahasiswa. Dua temannya pun langsung memeluk dan ikut menangis.

"Perjuangan kita untuk mendapatkan keadilan bagi korban tidak selesai sampai di sini saja kawan-kawan! Masih ada kelanjutan. Maka dari itu kami harapkan kita semua tetap membersamai kasus ini!" teriak yang lain.

Perjuangan memang tak berhenti sampai di sana. Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menyusun memori kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) agar membatalkan vonis itu. MA menerima memori kasasi itu pada tanggal 21 Juni 2022 dengan nomor register 786 K/Pid/2022. Tiga hakim agung yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan adalah Gazalba Saleh, Prim Haryadi dan Sri Murwahyuni.

Putusan Kilat Hakim Agung
Guna membantu MA, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru sebagai pendamping hukum penyintas mengumpulkan para akademisi dan pakar hukum untuk melakukan eksaminasi publik serta amicus curiae. Sekedar informasi, eksaminasi publik adalah pemeriksaan terhadap putusan pengadilan dan amicus curiae atau sahabat pengadilan adalah pendapat hukum yang diberikan suatu pihak terkait isu-isu di dalam suatu perkara. Adapun tim eksaminator itu adalah Ahmad Sofian, Lidwina Inge Nurtjahyo, Iva Kasuma, Nur Hasyim, Asfinawati, dan Dupuis Sola.

Dalam eksaminasi itu mereka berpandangan bahwa ancaman kekerasan yang dialami penyintas terbukti benar karena berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog, penyintas jelas mengalami depresi dan ketakutan yang kuat. Selain itu penafsiran hukum yang dilakukan majelis hakim PN Pekanbaru dinilai tidak mengikuti perkembangan teori pembuktian progresif dan fakta persidangan yang diajukan oleh JPU terhadap 8 orang saksi dan 6 saksi ahli yang seluruh keterangannya sesuai dengan keterangan penyintas tidak dijadikan pertimbangan bagi majelis hakim. Kesimpulannya, eksaminator sepakat bahwa putusan majelis hakim PN Pekanbaru tidak berkeadilan, tidak progresif serta hanya menggunakan nalar hukum pidana yang sempit.

Pada 12 Agustus 2022 atau tepat satu bulan dua puluh hari sejak memori kasasi itu diterima, tiga hakim MA menolaknya dengan alasan yang belum diketahui hingga tulisan ini dibuat. Meski begitu, dengan penolakan itu maka putusan PN Pekanbaru yang membebaskan SH karena tidak adanya saksi lain yang melihat kejadian dipastikan sah dan berkekuatan hukum tetap.

“Putusan MA ini membuat kelam nasib korban. Tapi yang tidak disadari juga memberi pesan bahwa hanya kejahatan yang ada saksi mata langsung yang dapat dipidana. Ini suatu kemunduran,” kata eksaminator Asfinawati beberapa jam setelah kabar penolakan memori kasasi itu diterimanya.

Eksaminator yang lain, Nur Hasyim, menambahkan bahwa putusan MA itu menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum juga berpihak pada perempuan yang menjadi penyintas kekerasan seksual.

“Saya prihatin. Putusan ini menjadi gambaran beratnya penegakan kasus kekerasan seksual kendati telah ada Permendikbud-ristek Nomor 30 PPKS dan UU TPKS. Akan ada tantangan berat dan perjuangan masih panjang untuk memastikan UU TPKS dapat diimplementasikan di Indonesia,” ujarnya.

Andi Wijaya, direktur LBH Pekanbaru juga mempertanyakan putusan MA yang dinilai terlalu cepat.

“Kita sih agak heran, ya. Saya selama di LBH, putusan kasasi itu sebenarnya agak lama. Tapi MA memutus perkara ini cuma butuh satu bulan dua puluh hari. Buset. Sebanyak itu amicus curiae, berkas-berkas yang sudah disusun jaksa setebal itu. Saya jadinya bertanya-tanya, itu semua dibaca apa enggak, sih? Itu tebal banget loh. Dipelajarinya dalam-dalam enggak?” kata dia pada halloriau, 30 Agustus 2022.

Pengabaian Terhadap Perma Nomor 3 Tahun 2017
Andi menilai bahwa putusan majelis hakim tidak berperspektif korban, tidak memberi rasa keadilan sekaligus mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Ia mencatat, ada beberapa hal yang tidak dipertimbangkan majelis hakim PN Pekanbaru dan MA dalam memutus perkara itu seperti hasil pemeriksaan psikolog pada penyintas, hasil uji kebohongan (poligraf) yang dilakukan Polda Riau pada SH, dan adanya ketimpangan relasi kuasa karena SH adalah seorang dekan sedangkan penyintas hanya seorang mahasiswa. Maka dari itu, kata Andi, MA telah mengabaikan peraturan yang dibuatnya sendiri.

“Karena di dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017 itu pasal 4 huruf a, d, dan f jelas menyebutkan bahwa hakim harus mempertimbangkan dampak psikologis yang dialami korban dan relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya. Jadi kalau hakimnya memutus perkara itu hanya dengan alasan tidak ada saksi lain yang melihat langsung, ini jelas mengabaikan Perma tadi serta fakta-fakta, situasi dan bukti pendukung lain yang sudah dikumpulkan,” ujarnya.

Tidak dijadikannya Perma sebagai rujukan dalam perkara kekerasan seksual yang menimpa Bintang dinilai salah satu eksaminator, Lidwina Inge Nurtjahyo, berpotensi menjadi sebuah pelanggaran kode etik hakim.

“Saya enggak tahu, ya, apakah bisa diajukan PK (Peninjauan Kembali)? Karena faktanya hakim ini mulai dari pengadilan negeri sampai MA tidak merujuk kepada Perma. Sama sekali enggak ada. Ini ‘kan berarti pelanggaran secara etika,” kata dia dalam diskusi publik bersama KIKA dan Nalar TV, 16 Agustus 2022 lalu.

Abainya hakim terhadap bukti-bukti lain disebut Andi bagai menggunakan “kacamata kuda”.

“Begini, ya, saya beri ilustrasi. Kita tepikan dulu bukti lainnya, kita cuma pakai yang jadi pertimbangan hakim itu, yaitu harus ada orang lain yang melihat. Jadi lihatnya lurus nih, kayak pakai kacamata kuda. Unsur-unsur pidananya, ya, dia (terduga pelaku) memang enggak bisa disalahkan karena enggak ada saksi yang melihat. Tapi ini kasusnya pelecehan, pencabulan, harus dilihat dampaknya. Ada hasil pemeriksaan psikolog, ada dugaan kuat dari tes poligraf bahwa pelaku berbohong, ada ketimpangan relasi. Nah, hal-hal ini seharusnya jadi pertimbangan hakim. Kalau hakimnya bilang “oh, enggak ada yang lihat, jadi pelaku nggak bisa dipidana” itu enggak perlu masuk Fakultas Hukum juga orang paham, enggak usah kuliah tinggi-tinggi lah,” tegasnya.

Andi mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi hakim untuk menggunakan hati nuraninya dalam memutus perkara. Justru hakim diharapkan dapat bijak memutus perkara sesuai hati nurani dan keyakinannya berdasarkan nilai-nilai keadilan.

“Kalau menilai dari sisi hukum formalnya aja, mungkin semua kasus kekerasan seksual lainnya bakal ditolak, bebas semua pelakunya karena tidak ada yang melihat. Kasus Nenek Minah yang mencuri tiga butir kakao itu juga enggak bisa berakhir begitu saja, kalau ngikut hukum aja, ya. Tapi ini ‘kan enggak. Makanya di kasus Unri ini agak aneh karena sampai di MA pun ditolak. Kita mempertanyakan bagaimana hakim itu melihat dari sisi keadilannya ketika sudah ada banyak bukti-bukti dan ada dampak psikologisnya, dikuatkan lagi adanya dugaan kuat si SH berbohong? Nah, itu semua kan ada kesesuaian tapi kok enggak bisa dijadikan bukti itu ‘kan aneh,” sebutnya.

Andi menambahkan, bahwa pihaknya berencana melaporkan dugaan pelanggaran kode etik karena mengabaikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 itu dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia.

“Kita memang ada rencana untuk itu. Pertama tentunya kita lagi menunggu surat putusan dari MA, lalu kita lakukan analisis terlebih dahulu. Terus kita melihat dulu putusannya sejauh mana. Untuk beberapa hal kita bersama teman-teman lawyer juga konsolidasi untuk memastikan langkah upaya selanjutnya apa?” jelasnya.

Oleh karena PK merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi wewenang jaksa, Andi mengatakan akan mencoba meyakinkan jaksa untuk melakukan itu.

Sementara itu juru bicara KY Republik Indonesia, Miko Ginting mengatakan bahwa pada prinsipnya KY memang dapat mengambil peran jika ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Namun, untuk perkara kekerasan seksual di Unri ini, KY belum bisa berkomentar banyak.

"KY belum bisa memberikan penilaian jika belum dilaporkan, diperiksa dan diputus. Yang pasti, KY terbuka apabila ada masyarakat yang ingin mengajukan laporan perihal dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Jika informasinya cukup, maka tidak mungkin KY tidak menindaklanjuti laporan tersebut," kata Miko saat dihubungi Rabu, 7 September 2022.

Beban Ganda Penyintas
Pemberian vonis bebas pada terduga pelaku kekerasan seksual lagi-lagi tak memikirkan dampak yang akan diterima penyintas, kata Andi.

“Dampaknya itu bukan terhadap publik, tapi pada penyintas. Jadi penyintas itu lagi-lagi dihadapkan dengan situasi yang traumatis. Dia (Bintang) ngomong aja susah, nangis terus. Tapi ini ‘kan dia, dan para penyintas kekerasan seksual lainnya, itu akhirnya memberanikan diri speak up karena mereka mau dapat keadilan, padahal speak up itu 'kan susah. Tapi kemudian pengadilan bilang si pelaku tidak bersalah. Bayangkan stigma apa yang akan diterima penyintas?” ujarnya.

Andi menyayangkan putusan hakim itu yang pada akhirnya dapat digunakan pengacara terduga pelaku untuk menuduh penyintas berbohong atau telah memfitnah.

“Bayangkan muncul stigma dari pengacara si pelaku yang menuduh korban yang tidak-tidak. Jadinya beban korban ganda. Kalau sudah begitu, siapa yang mau tanggung jawab misalnya korban semakin traumatik dan melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri? Hakim mau enggak tanggung jawab?” tutupnya.

--
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.

Penulis: Rinai Bening Kasih

   


Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda)


BERITA LAINNYA    
Satres Narkoba Polres Kuansing ungkap kasus di Sentajo Raya (foto/ultra)Dalam Satu Malam, Mata Elang Polres Kuansing Ungkap 2 Kasus Narkoba
Ilustrasi BBI/BBWI 2024 akan diselenggarakan di Halaman Kantor Gubernur Riau (foto/int)Gebyar Gernas BBI/BBWI dan Lancang Kuning Carnival Segera Digelar, Catat Tanggalnya
Perwakilan Edy Natar ambil formulir di PKB, Selasa (23/4/2024) (foto:ist) Ambil Formulir di Demokrat dan PKB, Edy Natar Jadi Bacalon Gubri yang Pertama Daftar ke Parpol
Hari ini PLTA Koto Panjang menutup dua pintu waduk (foto/int)Debit Air Terus Menyusut, 2 Pintu Waduk PLTA Koto Panjang Ditutup
Ilustrasi stand UMKM di Gernas BBI/BBWI disediakan gratis Pemprov Riau (foto/tribunpku)Disediakan Gratis, Ini Link Pendaftaran Stand UMKM di Gernas BBI/BBWI Riau
  Harga pinang kering di Riau alami kenaikan pekan ini (foto/int)Harga Pinang Kering di Riau Tembus Rp4.400 per Kg
PDIP rekomendasikan Kasmarni untuk bakal Calon Bupati Bengkalis di Pilkada 2024 (foto/Zulkarnain)PDIP Hanya Buka Penjaringan untuk Calon Wakil Bupati Bengkalis
HK optimalkan PMN 2024 untuk keberlanjutan penugasan JTTS tahun 2025 (foto/ist)HK Optimalkan PMN 2024 untuk Keberlanjutan Penugasan Tol Trans Sumatera
Ilustrasi pembangunan Flyover Panam Pekanbaru, masih tahap penyiapan dokumen (foto/int)Proses Pembangunan Flyover Panam Pekanbaru Masih Tahap Pengadaan Tanah
PT RAPP melakukan sosialisasi dengan menggelar dialog dan konsultasi publik bersama masyarakat (foto/Ultra)Incar Sertifikasi FSC, RAPP Gelar Dialog dan Konsultasi Publik Bersama Masyarakat Kuansing
Komentar Anda :

 
Potret Lensa
Sepanjang Jalan Rajawali Rusak Parah
 
 
 
Eksekutif : Pemprov Riau Pekanbaru Dumai Inhu Kuansing Inhil Kampar Pelalawan Rohul Bengkalis Siak Rohil Meranti
Legislatif : DPRD Pekanbaru DPRD Dumai DPRD Inhu DPRD Kuansing DPRD Inhil DPRD Kampar DPRD Pelalawan DPRD Rohul
DPRD Bengkalis DPRD Siak DPRD Rohil DPRD Meranti
     
Management : Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Kode Etik Jurnalistik Wartawan | Visi dan Misi
    © 2010-2024 PT. METRO MEDIA CEMERLANG (MMC), All Rights Reserved