Pembayaran BPHTB Terpaksa Ditolak, Pemkab Kepulauan Meranti Kehilangan PAD Miliaran Rupiah
SELATPANJANG - Kebijakan presiden terhadap moratorium gambut berdampak sangat luas terhadap masyarakat Kepulauan Meranti.
Diberitakan sebelumnya banyak masyarakat yang tidak bisa mengembangkan modal dengan melakukan agunan sertifikat tanah ke bank, kini masyarakat juga tidak bisa melakukan jual beli terhadap tanah dan rumah yang mereka miliki.
Pasalnya, untuk melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) ke Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD), oleh pemilik tanah yang dibantu oleh Notaris ditolak. Hal itu disebabkan hampir 80 persen lahan di Kepulauan Meranti dikategorikan kawasan gambut yang dimasukkan kedalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Husnalita SH M hum yang diminta untuk mengeluarkan surat akta jual beli sebelumnya wajib membayarkan BPHTB.
"Membayarkan BPHTB ini bukan kewajiban notaris, tapi masyarakat biasanya minta bantu ke kita karena mereka terkadang malas kalau langsung berurusan ke dinas ataupun kantor pajak, jadi kita bantu. Namun baru-baru ini ketika kita mau lakukan pembayaran malah ditolak dengan alasan masuk kedalam kawasan gambut, intinya yang masuk lahan gambut tak dikasi lagi membayar sama orang BPPRD," kata Husnalita.
Dikatakan Husnalita, jika BPHTB tersebut tidak dibayarkan maka akta jual beli tersebut tidak bisa diterbitkan.
"Yang jelas penjual dan pembeli harus bayar pajak, kalau tak dibayar pajaknya mana bisa dibuatkan akta. Mau jual belinya dibawah tangan pun pajak harus tetap bayarkan, nah ini kok ditolak. Padahal kami notaris belum ada pelarangan untuk membuat akta baik perikatan jual beli maupun akta jual beli, masalah bisa atau tidak dibalik nama nantinya itu bukan urusan Dispenda," ujarnya.
Diungkapkan, pajak yang dibayarkan sangat banyak dimana setiap transaksi dipotong 5 persen dan itu berpotensi menambah pundi-pundi untuk Pendapat Asli Daerah (PAD).
"Berjuta-juta lah pokoknya karena dihitung 5 persen. Kalau misalnya harga 200 juta, maka sudah 7 jutaan pajaknya dan itu menambah kepada penghasilan dan pendapatan daerah. Tapi bukan masalah berapa duitnya sekarang ni, masalahnya kok dilarang orang mau setor ke kabupaten," pungkasnya.
Sementara itu Kepala Bidang Pajak Bumi dan Bangunan, BPPRD Kepulauan Meranti, Tengku M Kamaruddin didampingi Sekretaris BPPRD, Agib Subardi mengatakan bahwa memang tidak ada aturan yang mengatur terhadap pelarangan membayar BPHTB lahan gambut, namun hal itu terpaksa dilakukan agar tidak merugikan masyarakat itu sendiri.
"Kita hanya sebatas pelayanan saja, namun yang mempunyai wewenang terhadap pengecekan lahan apakah masuk kawasan gambut atau tidak itu pihak BPN. Jika harus dipaksakan membayar ternyata tidak bisa dilakukan proses balik nama, selain itu jika sudah terlanjur dibayarkan proses mengembalikan uang juga panjang malah bisa sampai ke pimpinan. Kita mengantisipasi itu saja, jangan sampai masyarakat kecewa dan dirugikan," kata Tengku Kamaruddin, Jumat (24/7/2020).
Dikatakan pihaknya juga merasa dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Dimana Pemkab Kepulauan Meranti terancam dan berpotensi kehilangan sumber PAD dari BPHTB hingga miliaran rupiah.
"Jika dibilang rugi ya rugi. Dimana kita kehilangan sumber PAD dari BPHTB. Target dari sektor ini naik sebesar Rp 2 miliar dari tahun sebelumnya yakni Rp 1,5 miliar. Dan ini setiap tahunnya terus saja tercapai targetnya karena memang banyak masyarakat yang melakukan transaksi jual beli rumah dan lahan," ujarnya.
Penulis : Ali Imron
Editor : Fauzia
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :