Klaim Sepihak China Terhadap Perairan Natuna Kembali Terulang, Perlu Reaksi Lebih dari RI
Berbicara mengenai perairan Natuna memang tidak ada habisnya, perairan yang dikenal memiliki harta karun laut ini sering menjadi sasaran kapal-kapal nelayan asing khususnya kapal dari negara China dan Vietnam.
Perairan natuna sendiri memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama energi.
Total produksi minyak dari blok-blok yang ada di natuna adalah 25.447 barel/hari, Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Perairan Natuna sendiri dapat menjadi lokasi blok gas dengan terdapatnya Blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak tahun 1973.
Perairan Natuna juga tidak hanya menyimpan potensi migas yang besar, kawasan ini menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah, yaitu Ikan Pelagis Kecil (621,5 ribu ton/tahun), Demersal (334,8 ribu ton/tahun), Pelagis Besar ( 66,1 ribu ton/tahun), Ikan Karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun) hingga lobster (500 ton/tahun).
Dengan melihat potensi yang sangat melimpah ini membuat kapal China kembali memasuki perairan Indonesia yaitu perairan Natuna. Sebelum kejadian ini, kapal nelayan China juga pernah melintasi dan mengklaim wilayah Natuna yang terjadi pada tahun 2016, Dan kembali terulang pada tahun 2019 di penghujung Desember.
Pemerintah China mengklaim bahwa Natuna merupakan nine dash line dan berdasarkan territorial laut China menyatakan perairan Natuna merupakan miliknya.
Lantas hal ini menimbulkan reaksi pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line, karena klaim sepihak yang dilakukan China tidak berlandaskan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982.
Klaim China atas bagian laut natuna ini disampaikan Kemetrian Luar Negeri China usai peristiwa masuknya kapal nelayan China dan kapal aparat (Coast Guard) China pada Desember 2019. Terkait dengan hal itu Kemlu RI memanggil duta besar China dan melayangkan nota protes ke Beijing.
Namun China bersikeras bahwa pihaknya tidak sama sekali melanggar territorial negara lain karena mereka merasa bagian perairan Natuna yang dilewati kapalnya merupakn territorial China.
Menanggapi kasus seperti ini pemerintah perlu terjun langsung untuk memperkuat dan mempertegas wilayah Natuna sebagai kedaulatan dari negara Indonesia, karena tindakan yang harus diambil pemerintah tidak cukup hanya mengirimkan nota keberatan dan memanggil duta besar, namun lebih dari itu pemerintah harus memberi reaksi yang lebih karena kasus ini bukan terjadi sekali, melainkan pengulangan terhadap kasus sebelumnya. (*)
Penulis : William Hendrikson, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :