JAKARTA - Kasus penyebaran rekaman asusila yang menimpa Baiq Nuril membuka perdebatan baru terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mantan Kepala SMU 7 Mataram, Muslim, melaporkan Nuril dengan menggunakan UU tersebut.
Nuril dinyatakan bebas dari tuduhan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Mataram.
Namun, ia divonis bersalah dan melanggar UU ITE dalam kasasi yang diajukan kejaksaan di Mahkamah Agung.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, kasus yang menimpa Baiq Nuril bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat di era digital.
Rudiantara mengingatkan masyarakat untuk hati-hati dalam menyebarkan dokumen elektronik mengingat saat ini ada regulasinya, yakni Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Agar masyarakat juga berhati-hati dalam menggunakan digital. Menggunakan perangkat digital. Menggunakan media sosial ataupun sistem pesan yang instan seperti WhatsApp," kata Rudiantara saat ditemui di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (25/11/2018).
Menurut dia, UU ITE tidak perlu direvisi atau ditambahkan dengan Peraturan Pemerintah tertentu.
Alasannya, sudah ada aturan tentang perlindungan perempuan yang bisa memenuhi kebutuhan perempuan.
Dia mengatakan, Kemenkominfo akan berupaya agar pasal dalam UU ITE tidak disalahartikan atau disalahgunakan.
Salah satu upayanya adalah dengan menjadi saksi ahli dalam setiap kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
"Diproses itu ada yang namanya memanggil saksi ahli. Saksi ahli itu adalah dari penyidik PNS. Kominfo mempunyai lebih dari 10 penyidik PNS. Biasanya Kementerian Kominfo yang dihadirkan," ujar Rudiantara.
Senjata bagi yang 'powerful'
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo, mengatakan pihaknya telah banyak menangani kasus yang berkaitan dengan UU ITE.
Ia menilai, UU ITE lebih banyak merugikan rakyat kecil.
Baiq Nuril bukan satu-satunya yang menjadi korban dari UU tersebut. Hasto berpendapat, UU tersebut perlu segera direvisi atau dilakukan judicial review.
""Saya desak dilakukan revisi atau judicial review terhadap undang-undang ini karena dalam praktiknya ini banyak mencelakakan orang kecil," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, ia pernah mendapatkan data bahwa pihak yang memanfaatkan UU ITE sebanyak 35 persen adalah pejabat dan 29 persen adalah profesional.
Sementara, sebagian besar yang menjadi korban adalah mereka yang awam terkait UU ITE ini.
"Artinya UU ITE ini memberi fasilitasi kepada elite," ujar Hasto.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Meutya Hafid juga setuju dengan hal itu. Dia mengakui bahwa Undang-Undang ITE kerap digunakan oleh orang yang punya kuasa lebih besar terhadap orang yang kekuasaanya lebih rendah.
Salah satunya terjadi dalam kasus Baiq Nuril.
"Memang sayangnya banyak digunakan orang powerful kepada orang powerless," ujar Meutya.
Meutya mengatakan, seharusnya ada sosialisasi lebih lanjut terkait penerapan UU ITE. Bukan hanya kepada masyarakat, melainkan juga pada penegak hukum yang menjalankan UU tersebut. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :