PEKANBARU - Adanya dampak negatif penerapan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, serta sejumlah Keputusan dan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai aturan teknisnya, pelaku usaha di Riau resmi melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau melayangkan surat tersebut untuk menyuarakan dampak dari penerapan regulasi gambut, yang mengancam kelangsungan industri hutan tanaman industri dan dampaknya kepada ekonomi dan sosial.
Ketua APHI Riau, Muller Tampubolon mengatakan, regulasi baru soal gambut itu akan memberikan dampak negatif yang besar bagi Riau yang mayoritas mempunyai usaha di atas lahan gambut.
"Kami minta presiden merevisi aturan tersebut karena mengancam ekonomi daerah,” ujarnya kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis (11/5/2017).
Melalui surat nomor 031/APHI-Riau/V/2017 pada 8 Mei 2017 itu, APHI menjabarkan bahwa sesuai aturan teknis PermenLHK No.17/2017 tentang Pembanggunan Hutan Tanaman Industri (HTI), mengharuskan pemegang izin
HTI merencanakan kembali penataan ruang areal gambut dalam wilayah kerjanya dengan perbubahan rencana kerja usaha (RKU).
Perubahan itu adalah hasil dari tumpang susun Peta Fungsi Ekosistem Gambut dengan Peta RKU yang menghasilkan perubahan dilapangan secara keseluruhan berimplikasi pada berkurangnya areal budidaya untuk tanaman pokok dan tanaman kehidupan, untuk menjadi kawasan lindung.
Dengan begitu, dari 526.070 hektare (ha) areal HTI yang sudah ditanami di Riau, berdasarkan regulasi yang baru ada 398.216 Ha akan berubah
menjadi fungsi lindung.
"Artinya ada 76% dari total HTI yang sudah ditanami akan menjadi fungsi lindung, bisa panen satu daur saja namun tidak boleh ditanami lagi. Berarti, hanya sisa 127.854 hektare atau 24% saja," katanya.
Setelah menjadi fungsi lindung, pemegang izin HTI akan kehilangan investasi yang sudah ada sekitar Rp6,63 triliun. Ditambah lagi dengan
kewajiban bagi pemegang izin melakukan pemulihan di area tersebut yakni sekitar Rp15,92 triliun.
Dikatakan APHI Riau sudah menjelaskan secara rinci dalam surat yang dikirim kepada Presiden tersebut mengenai dampak-dampak dan potensi kerugian yang akan timbul jika regulasi gambut tersebut dipaksakan.
Kritisi Aturan Gambut
Sebelumnya, akademisi Universitas Riau (UR) juga bersuara mengkritisi mengenai aturan baru gambut ini. Pada 3 Mei lalu, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masarakat UR (LPPM UR) menggelar workshop dengan tema Implementasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup LPPM, UR Suwondo mengatakan niat pemerintah yang ingin mengembalikan ekosistem gambut harus diiringi kajian mendalam secara holistik. Upaya perbaikan terhadap kesalahan masa lalu dalam pengelolaan ekosistem gambut sebaiknya tidak dilakukan secara sporadis, namun hendaklah dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dan waktu yang ideal.
Dalam rumusan workshop disebutkan dengan diterapkannya PP No 57/2016 beserta turunannya akan berdampak terhadap aktivitas sosial ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat Riau di wilayah pesisir, antara lain Kabupaten Rohil, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Inhil.
"Sebagian masyarakat Riau sudah sejak lama bermukim dan melaksanakan aktivitas ekonomi pada lahan gambut dengan kedalaman di atas 3 meter," katanya. (rilis)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :