Kabut Asap: Ketidakberdayaan Negara Menghadapi Korporasi
Kamis, 19 September 2019 - 14:00:02 WIB
oleh: Syed Agung Afandi, S.IP., M.I.P*
MAYORITAS negara berkembang meyakini kebijakan large-scale land acquisitions (akuisisi lahan skala luas) melalui proses legal pemberian konsesi lahan pada investor akan membantu negara meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selama empat dekade terakhir sektor perkebunan dan perdagangan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Tanaman global seperti sawit mengalami peningkatan produksi lebih dua kali lipat dari periode sebelumnya. Ini kemudian dijadikan promosi besar pada banyak negara agar menerapkan strategi pembangunan berbasis tanaman ekspor sehingga tercipta perdagangan lintas negara.
Negara-negara dunia ketiga berlomba-lomba mengembangkan tanaman ekspor yang kemudian berdampak pada transformasi desa yang diorientasikan menjadi pusat-pusat tanaman dunia dan bahan baku ekspor sehingga sejak itu dunia korporasi telah mampu “membentuk” desa.
Di luar itu, tanaman penghasil kertas juga menjadi salah satu tanaman primadona negara-negara yang memiliki lahan luas. Secara khusus, praktik eksploitasi lahan skala luas untuk perkebunan sawit dan bahan baku kertas (kayu akasia) telah berlangsung sejak tahun 1970an di Indonesia.
Orientasi perubahan kebutuhan pasar yang pesat menyebabkan perburuan tanah meningkat hebat di negara-negara dunia ketiga. Proses perburuan yang semula merupakan akses untuk mendapatkan tanah-tanah tidak produktif (idle land) guna pengembangan tanaman ekspor kemudian juga merambah ke lahan produktif pedesaan dan area hutan. Aksi ini yang kemudian semakin gencar seiring dengan meningkatnya kebutuhan pasar.
Di Indonesia, mayoritas akuisisi tanah skala luas digunakan oleh pemodal untuk kepentingan perkebunan dan tanaman industri. Semua itu merupakan fenomena global yang diperuntukkan guna melayani kepentingan pasar, bukan skema yang dibangun untuk menyejahterakan masyarakat lokal.
Eksploitasi hutan Indonesia menemukan pasar ekspor dengan permintaan bahan baku kertas yang tinggi. Gelombang kedua setelah eksploitasi hutan adalah pemberian tanah bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menuju konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di samping sebagian dikonsesikan untuk pembangunan perkebunan skala luas. Pada periode inilah sawit mulai menemukan booming-nya di Indonesia.
Sebagai pemberi garansi eksploitasi tahap lanjut atas lahan-lahan bekas Hak Pengusahaan Hutan, negara tidak berwibawa untuk menindaklanjuti perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Disinilah awal sekaligus titik temu atas permasalahan rutin kabut asap setiap tahunnya.
Penyegelan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberikan efek jera bagi korporasi. Hampir tidak ada political will untuk penegakan hukum. Negara tidak memiliki kemauan politik yang lugas untuk menangani dan menegakkan hukum atas kasus pembakaran hutan dan lahan yang terjadi. Akibatnya perusahaan yang mestinya bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan cenderung mengesampingkan kewajibannya.
Pemerintah sangat lamban dan tidak tegas menindaklanjuti korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Pemerintah bahkan memberikan impunitas atau kekebalan hukum kepada sejumlah korporasi serta bersikap permisif terhadap kejahatan lingkungan ini.
Negara telah memberikan contoh buruk bagi perusahaan pembakar hutan dan lahan untuk melanggar hukum. Hal ini dipertontonkan dengan pengajuan Pinanjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Tindakan pemerintah ini sama artinya secara implisit telah melindungi korporasi yang melanggar hukum.
Pembakaran hutan dan lahan sudah menjadi tradisi tahunan yang dipastikan terjadi setiap memasuki musim kemarau. Kabut asap adalah tentang masalah kemanusiaan. Adalah hak setiap manusia bahkan seluruh mahluk hidup untuk dapat hidup dengan nyaman serta dapat menghirup udara segar.
Kapan bangsa ini mampu belajar dari pengalaman? Seiring Global warming yang semakin mengkhawatirkan, peran dan fungsi hutan menjadi vital bagi kehidupan. Jika hanya demi keserakahan ekonomi, ini tentu tidak sebanding dengan keberlangsungan hidup di masa mendatang.
Luasnya hutan Indonesia serta lemahnya kapasitas politik pemerintah telah menyebabkan eksploitasi secara masif. Dalam konteks ini laju deforestasi tidak terbendung. Negara tidak mampu melakukan upaya pencegahan secara efektif sekalipun dampak yang ditimbulkan sudah sangat luas. Secara keseluruhan, deforestasi serta kabut asap telah merampas banyak ruang dan keadilan bagi seluruh mahluk hidup.
*Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :