Energi bersih ramah lingkungan bukan hanya sebatas angan. Desa Energi Berdikari menjadi bukti, dari limbah bisa menjadi biogas, energi alternatif yang terbarukan dan berkelanjutan.
KAMPAR – Ratno punya kesibukan baru. Tiap Jumat, ia sambil bawa karung beras kosong, pergi ke Pasar Rakyat Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Tiba di pasar yang sudah sepi, Ratno mengutip tomat busuk, sawi layu, hingga terung tidak laku. Bagi pedagang, itu semua hanyalah sampah organik tidak bernilai. Namun di tangan Ratno semuanya ‘disulap’ menjadi biogas, sumber energi terbarukan.
“Saya cukup sekali seminggu mengumpulkan sampah sayur di pasar desa. Bisa dapat dua karung, sekitar 30 kilogram. Biasanya kalau untuk nyayur sama merebus air, stok biogasnya sudah lebih dari cukup,” ujar Ratno membuka cerita, Rabu (28/8/2024).
Sayuran yang dipungut itu nantinya akan dicampur dengan air. Dilumat ke dalam inlet atau tangki pencampur. Setelah menjadi bubur, kemudian dialirkan ke reaktor berbentuk kubah yang anaerob atau hampa udara. Dari proses ini, nantinya gas metana akan memisahkan diri dan bisa ‘dipanen’ setiap hari.
Ratno merasa sangat terbantu dengan adanya energi alternatif ini. Dulu, sebelum punya reaktor biogas, ia sering mengalami kehabisan elpiji 3 Kg atau gas melon. Lebih parah lagi, kalau gas langka, harga di warung bisa selangit.
“Wah, jangan ditanya, saya sering alami itu ‘mogok’ masak. Sedang masak, tiba-tiba gas habis. Dicari ke pangkalan gas tidak ada. Dapatnya di warung, tapi harganya bisa Rp25 ribu per tabung,” ujarnya.
Semenjak bisa memanen biogas dari rumah, Ratno sudah lupa kapan terakhir ia merasakan kelangkaan gas. Bahkan kini dirinya bisa berhemat, tidak lagi bergantung pada LPG 3 Kg.
Ia cukup putar keran yang ada di dekat kompor. Kemudian tungku disulut menggunakan pemantik api. “Wush.” Gas yang menguap langsung dilahap ‘si api biru’. Uniknya, tidak ada aroma khas gas elpiji yang tercium.
“Jadi dulu saya habiskan empat sampai lima tabung gas 3 Kg dalam sebulan. Kalau sekarang paling satu tabung, itu juga persediaan misal harus masak banyak saat ada tamu,” ujarnya. Artinya dalam sebulan sedikitnya Ratno sudah bisa berhemat Rp60 ribu sampai Rp80 ribu.
Ratno baru setahun ‘memanen’ biogas dari limbah sampah ini. Tahun 2023, ia dipilih PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk dibuatkan rektor dengan kapasitas empat meter kubik. Itu dianggap sudah cukup, menimbang bahan baku limbah rumah tangga dan keterbatasan lahan miliknya.
Total ada 20 reaktor biogas yang dibangun PT PHR di Desa Mukti Sari yang masuk dalam program Desa Energi Berdikari (DEB). Bersama Kelompok Tani Bhina Mukti Sari, delapan reaktor biogas dibangun tahun 2022. Lalu 12 reaktor lainnya dibangun tahun 2023.
PT PHR bermitra dengan Yayasan Rumah Energi (YRE) untuk mendampingi kelompok tani desa tersebut. Secara umum, konsepnya memanfaatkan energi terbarukan, dengan bahan baku feses atau kotoran, ampas tahu, hingga limbah sayuran di pasar.
Desa ini dipilih, menimbang warga banyak sapi yang diternakkan warga. Namun, sapi itu hanya dilepas liarkan ke kebun sawit. Sehingga banyak kotoran sapi, yang merupakan sumber utama biogas, terbuang sia-sia.
(Sudarman, Ketua Kelompok Tani Bhina Mukti Sari menjelaskan DEB Berdikari berbasis biogas/foto-riki)
Biogas Sempat Dipandang Sebelah Mata
Ketua Kelompok Tani Bhina Mukti Sari, Sudarman menceritakan, Program DEB berbasis energi bersih ini, awalnya memang sepi peminat. Terlebih, ada banyak persepsi negatif tentang kotoran sapi jika dipakai untuk baku utama biogas.
“Ada yang bilang kotor lah, najis lah. Karena dari kotoran,” sebut pria yang akrab disapa Darman ketika berbincang di rumahnya. “Padahal yang kita gunakan memasak itu kan, gas. Kalau pun ada ampas biogas (bioslurry, red), itu terpisah. Bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman,” katanya saat ditemui di teras rumahnya.
Darman bercerita, belum lama ini, saudara dari Lampung singgah ke rumahnya. Mereka kaget setelah tahu ia memasak tidak lagi pakai gas elpiji. Bahkan, saudaranya lebih takjub lagi, saat tahu sumber gas yang dipakai itu berasal dari kotoran sapi.
“Saudara saya langsung sibuk rekam pakai hape. Kasih tahu orang di kampungnya, kalau saya masak enggak pakai elpiji,” ujar pria 52 tahun itu sambil tersenyum.
Sudah tak terhitung berapa banyak orang yang penasaran datang ke tempatnya. Hampir semua pengunjung selalu siap-siap tutup hidung, saat diajak ke kandang sapi tempat pembuatan biogas.
“Tapi sampai ke kandang sapi mereka malah heran, enggak jadi (tutup hidung). Karena kandangnya tidak berbau busuk,” ujar Darman.
Saat ini, sapi milik Darman ada delapan ekor. Semua kotoran sapi miliknya itu menjadi bahan baku biogas. Cara kerjanya cukup sedernaha, kotoran dan urine sapi dicampur dengan air di dalam bak penampung. Sebelum dimasukkan ke reaktor atau digester, bahan baku tadi dihaluskan lagi dengan alat.
Takaran kotoran sapi dan air yang dicampurkan itu, satu banding satu. Setelah itu semua bahan baku dituang ke reaktor. Di dalam sana, mikroba bekerja untuk mengeluarkan gas metana. Gas itu lah yang kemudian dialirkan menggunakan pipa ke dapur rumah Darman.
Tekanan gas metana akan terukur di manometer (alat pengukur tekanan). Bedanya dengan gas elpiji konvensional, tekanan biogas bisa bertambah dengan sendirinya.
“Misal, tekanan gas menyusut siang hari, karena dipakai untuk masak. Sore atau malam harinya sudah terisi lagi, otomatis. Bisa langsung dipanen,” jelas Darman.
Sama seperti Ratno, selama hampir dua tahun ini Darman sudah nyaris tak pernah membeli gas 3 Kg. Ia membeli elpiji 3 Kg untuk wanti-wanti, kalau saluran gas macet atau ada kerusakan pada kompor.
Penggunaan biogas ini juga terbilang hemat. Bapak tiga anak ini bisa masak apa saja hingga berjam-jam, hanya berbekal gas yang "dipanen" dari limbah kotoran sapi.
“Misal di manometer menunjukkan angka 10, itu cukup untuk memasak selama lima jam. Mau masak apa selama itu, coba. Mateng semua,” ujar Darman terkekeh.
Selain instalasi biogas, Sudarman juga dibekali alat yang bisa memonitor pemakaian gas. Sensor pada alat tersebut akan mengirimkan informasi ketersediaan dan jumlah pemakaian gas ke aplikasi yang disematkan dalam ponsel androidnya.
Selain itu Darman menunjukkan perbedaan memasak pakai kompor biogas dengan gas melon. Dinding dapur yang memakai api dari biogas bersih. Sedangkan sisi satunya yang pakai gas 3 Kg, ada noda-noda hitam yang menempel. “Ini bukti, pakai biogas lebih bersih,” sebut bapak tiga anak ini.
(Ampas biogas yaitu bio-slurry dari Desa Mukti Sari diolah jadi pupuk organik padat berkualitas/foto-riki)
Dulang Rupiah dari Ampas Biogas
Pemanfaatan limbah kotoran sapi tidak hanya berhenti sebagai gas alternatif ramah lingkungan saja. Ampas biogas juga memiliki turunan dengan memanfaatkan bio-slurry menjadi Pupuk Organik Padat (POP) dan Pupuk Organik Cair (POC).
Darman mengatakan bio-slurry padat dan cair yang dihasilkan reaktor biogas miliknya cukup banyak. Maka itu kelompoknya mengolah kembali untuk dijadikan pupuk organik.
“Alhamdulillah untuk POP ada yang aplikasikan ke kebunnya. Itu hasil panen sawit ada peningkatan buah dari tiga ton bertambah jadi lima sampai enam ton. Kalau POC produk kita juga ada yang coba ke padi, itu juga disebut lebih berisi dari yang lain,” sebutnya.
Kelompoknya dalam periode Juni hingga Agustus 2024 sudah memproduksi pupuk padat sekitar 12 ton, dengan harga Rp3.000 per kilogram. Sedangkan pupuk cair sudah lebih dulu diproduksi. Total enam kali produksi sudah mencapai 6.000 liter dengan harga dipasaran Rp30 ribu per liter.
“Kalau dihitung pendapatan di kas kelompok sudah mencapai Rp15 juta. Jadi ampas biogas ini sangat potesial untuk dikembangkan menjadi bisnis baru desa,” kata Darman.
Hanya saja saat ini produk turunan yang dijual dengan merek Prima Bioslurry ini masih dalam proses perizinan. Sehingga baru bisa dipakai untuk terbatas kalangan sendiri. Tidak bisa dipajang bebas di toko-toko. Saat ini pihaknya dibantu PHR untuk dibantu keluar izin edarnya.
“Itu yang kita kita kejar sekarang, hak paten dan izin edarnya. Karena produksi kita cukup tinggi dengan bahan baku yang melimpah. Semoga nanti bisa segera bisa dipasarkan,” sebutnya.
Desa Energi Berdikari Terus Bertambah
Setelah sukses di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru, PT PHR terus memperluas transisi energi dan pemberdayaan kelompok masyarakat di area operasinya. PHR menyerahkan bantuan delapan unit instalasi reaktor biogas dan satu unit solar dryer house (rumah pengering tenaga surya) untuk masyarakat di Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rohil pada Rabu (16/10/2024).
Empat reaktor biogas dibangun di Kepenghuluan (desa, red) Bangko Jaya dan Kepenghuluan Bangko Permata. Melalui gas metana yang dihasilkan dari proses fermentasi dalam reaktor, nantinya masyarakat setempat dapat menjadikannya sebagai sumber energi bersih. Tentunya mengurangi ketergantungan Elpiji 3 Kg atau Gas Bersubsidi.
Seperti yang disampaikan Program Manager Biogas Rumah YRE, Krisna Wijaya, kapasitas reaktor biogas dua kepenghuluan tersebut terbagi empat sampai enam meter kubik. Itu disesuaikan dengan jumlah ternak sapi dan kambing yang ada di sana.
“Saat ini kita masih melakukan asesmen awal, melihat potensi lokal Kepenghuluan (desa, red) Bangko Jaya dan Bangko Permata. Lalu solusi yang bisa kita tawarkan, khususnya untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Serta memberikan alternatif energi bersih, yang bisa mengurangi pembelian gas 3 Kg. Juga mengurangi pembelian pupuk anonrganik, seperti yang berhasil dilakukan di Desa Mukti Sari,” ujarnya saat dihubungi lewat ponsel, Rabu (23/10/2024).
Krisna Wijaya menyebut desa-desa di Kecamatan Bangko Pusako memiliki potensi yang menjanjikan untuk DEB. Ketersediaan bahan baku biogas dari kotoran kambing dan sapi banyak tersedia.
Bahkan tidak hanya sampai di gas saja, ampas biogas juga dipanen. Sudah ada yang mencoba untuk pupuk di kebun sawit mereka.
“Sudah ada satu atau dua user yang mencoba, jual ampas biogas jadi pupuk ke kerabatnya. Respon pasar juga bagus, testimoni dari dampak langsung pemupukan sawit, nutrisi dari ampas biogas cukup bagus. Ini potensi ekonomi baru untuk desa,” sebutnya.
Krisna Wijaya mengatakan, ke depan kelompok-kelompok DEB ini akan diperkuat dan diedukasi agar lebih profesional. Sebab produk-produk yang dihasilkan seperti POP dan POC sudah ada pasar tersendiri. Kami kerja sama bersinergi rumah BUMN untuk pesanan yang lumayan bisa diakomodir, secara mandiri kelompok ini sudah bisa buat pupuk.
“Apalagi hasil uji laboratorium dari pupuk sudah keluar dan sesuai standar pupuk organik. Arah ke depan, kelompok ini harus bisa lebih profesional, dengan sumber daya manusia yang diedukasi ilmu bisnis. Agar nanti produk turunan bisa dikomersilkan tidak hanya untuk kalangan sendiri, tetapi lebih luas,” sebutnya.
Selain kelompok tani, pihaknya juga mengandeng komunitas anak muda, seperti Karang Taruna. Sebab anak muda punya kepekaan yang lebih untuk energi terbarukan dan isu lingkungan.
“Saat ini semuanya masih berproses. Kita yakin masyarakat bisa mewujudkan kemandirian desa,” ujarnya.