PEKANBARU - Perkebunan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Provinsi Riau saat ini. Tapi, perkembangan perkebunan di Bumi Melayu ini tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan buruh perkebunan.
Luas lahan perkebunan di Riau mencapai 3.543.714 Ha, yang terdiri dari komoditi karet, sawit, kelapa dan perkebunan lainnya. Hampir 70 persen perekonomian Riau bergantung pada sektor perkebunan ini.
"Perkebunan kepala sawit menjadi dominan saat ini. Tapi, kita hanya mampu memproduksi produk primer saja. Tapi ini merupakan tulang punggung perekonomian Riau," kata Kepala Dinas Perkebunan Riau, Ir Muhibul Basyar MSi saat jadi pembicana di Workshop Jurnalistik yang ditaja Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Pekanbaru selama dua hari, Sabtu (24/9/2016) dan Minggi (25/9/2016) di Grand Central Hotel.
Luasnya perkembangan perkebunan di Riau, tentu berimbas pada terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat tempatan. Namun, luasnya lapangan pekerjaan tidak seiring dengan tingkat kesejahteraan pekerja atau buruh yang ada di perusahaan-perusahaan pemilik perkebunan.
"Sebagian besar masyarakat perkebunan bukan pekebun atau petani tapi buruh tani atau buruh kebun. Kesejahteraan buruh tani atau kebun ini perlu diperhatikan. Kita perlu membangun opini bagaimana buruh perkebunan akan tumbuh menjadi pekebun," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, Ahmad Hijazi saat membuka Workshop tersebut.
Kata Hijazi, sejauh ini yang terjadi transformasi dari pekebun menjadi buruh kebun, bukan sebaliknya. Sebagai contoh di Inhil, lanjutnya ada orang tua yang memiliki kebun satu batang parit, dan memiliki anak 10 orang. Satu batang parit itu yang dibagi 10 anak.
"Kemudian sampai ke cucu itu akan terpecah lagi. Hingga akhirnya generasi berikutnya kembali memecah kebun itu. Sampai dijual dan menjadi buruh kebun. Itu transformasi yang terjadi sekarang. Maka terjadi kesenjangan kesejahteraan," kata Hijazi lagi.
Kepala Bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau, Hj Yenita Rizal SE MH yang juga menjadi pembicara menyebut, permasalahan perburuhan cukup kompleks di Provinsi Riau.
"Isu yang ada di perkebunan, ada upah lembur tidak dibayar. K3 nya juga rendah," kata Yenita.
Dia juga mencontohkan, polemik yang terjadi di daerah ada di suatu perusahaan terjadi kecelakaan kerja yang disegel. Ketika sorenya segel tersebut dibuka lagi atas perintah kepala daerah.
"Itu harus dibuka kalau tidak kadisnya dicopot, dari pada Kadis dicopot lebih baik ganti Kabidnya. Itu fenomena yang terjadi. Tapi Insya Allah tahun 2017 tidak ada intervensi lagi dari bupati atau walikota karena wewenang berada langsung di bawah gubernur. Saya percaya gubernur tidak mau intervensi seperti itu," ungkapnya.
Hal serupa juga diungkap Ketua Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan, Armansyah yang juga diundang sebagai pembicara. Dia menyebut, problem yang ada, hampir mengalami hal yang sama.
"Problem buruh perkebunan soal kebijakan pengupahan. Itu berkaitan dengan pemerintah karena ada UMP, UMK. Kebijakan pengupahan perlu perbaikan-perbaikan antara pemerintah dengan perusahaan yang memakai tenaga buruh," kata dia.
Lanjutnya, selama ini tuntutan buruh belum bersifat normatif, yang berimbas kepada kesejahteraan keluarga buruh. Seperti masalah pendidikan anak pekerja, selama ini perusahaan menganggap keluarga buruh sebagai aset yang harus "dilestarikan".
"Pengusaha seyogyanya membantu anak-anak pekerja dalam pendidikan. Gerak kita dibatasi untuk mencapai normatif kesejahteraan buruh. Hanya pemerintah yang bisa membantu kita," imbuhnya.
Penulis: Delvi Adri
Editor: Yusni Fatimah
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :