Galangan Kapal Diduga Gunakan Kayu ILegal
Dishut Meranti Kesulitan Cegah Pembalakan Liar
Minggu, 14 Februari 2016 - 15:54:33 WIB
SELATPANJANG - Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kabupaten Kepulauan Meranti, Ma'mun Murod mengaku kesulitan melakukan pencegahan terhadap pembalakan liar. Keterbatasan petugas menjadi penyebab lemahnya pengawasan yang dilakuakan Dinas Kehutanan.
Murod mengatakan, pengawasan yang dilakukan pihak Kehutanan hanya di dalam kawasan hutan. Namun setelah keluar dari dalam hutan, bukan kewenangan pihak Kehutanan untuk melakukan tindakan.
"Kita tidak bisa menempatkan petugas selama 24 jam di hutan untuk melakukan pengawasan. Karena anggota kita juga terbatas dan kita hanya melakukan pengawasan di dalam kawasan," ungkap Murod, Minggu (14/2/2016).
Murod mengakui banyaknya pembalakan liar di Meranti bisa mengancam terjadinya kerusakan lingkungan. Meskipun demikian, pihaknya tak langsung mengambil tindakan tegas. Karena masyarakat setempat, terutama suku asli semata-semata mencari nafkah dengan menjual kayu.
"Persoalan ini sangat dilematis ketika kami akan mengambil tindakan. Karena kayu itu menjadi sumber nafkah mereka sehari-hari. Satu-satunya jalan, kami hanya bisa melakukan pendekatan persuasif ke masyarakat agar tidak menebang habis kayu-kayu tersebut,"ungkap Murod.
Aktivitas penebangan kayu hutan alam secara ilegal di Kabupaten Meranti dilaporkan masih terus berlangsung untuk berbagai kebutuhan para pelaku usaha di daerah itu. Murod menjelaskan, beberapa galangan kapal juga diduga memakai kayu elegal untuk bahan membuat kapal.
Pantauan di sebuah galangan kapal yang berada di Tanjung Harapan dan Sungai Juling Kecamatan Tebingtinggi, kayu olahan yang diduga ilegal tersebut, digunakan untuk pembuatan ataupun perbaikan kapal. Tak tanggung-tanggung, sekali datang, galangan kapal itu dipenuhi bilahan kayu sebanyak 3 hingga 10 ton.
Ate (58), seorang pengawas galangan kapal di Tanjung Harapan, mengakui, kayu-kayu tersebut dibawa dari Sungai Tohor Kecamatan Tebingtinggi Timur. Ia mengungkapkan, untuk membuat satu unit kapal berukuran besar, galangan itu membutuhkan kayu hingga mencapai 10 ton. Namun ia mengaku tidak tau menahu terkait legal atau ilegalnya kayu tersebut.
"Saya hanya bekerja membuat kapal. Kalau kayu ini dibawa dari Desa Sungai Tohor. Itu pun tidak didatangkan setiap hari, tapi tergantung kebutuhan untuk pembuatan kapal. Minimal 3 ton dan paling banyak 10 ton," kata Ate.
Terkait harga kayu pertonnya, Ate mengaku tak tahu. Karena soal harga merupakan urusan bos nya, selaku pemilik galangan kapal. "Harga bos kami yang tahu. Saya hanya disuruh awasin saja. Karena bos galangan kapal ini berdomisili di Batam,"ujar Ate.
Penulis : Ali Imroen
Editor : Yusni Fatimah
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :