Penyidik Mengaku Terbentur UU Omnibuslaw dalam Menindak Pelaku Penimbunan BBM di Rohul
Rabu, 19 Mei 2021 - 22:00:30 WIB
PASIR PANGARAIAN - Satreskrim Polres Rokan Hulu (Rohul), menyampaikan progres penyelidikan kasus dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium yang diamankan pada 7 April 2021 lalu di Desa Babusalam Kecamatan Rambah, kepada wartawan Selasa (18/5/2021).
Dimana kasus ini sempat jadi atensi publik di Rohul, karena aksi penimbunan tersebut berada di tengah sulitnya masyarakat mendapatkan BBM jenis Premium di Rohul.
Pihak Satreskrim Polres Rohul yang diwakili KBO Sat Reskrim IPTU BJ Tanjung secara resmi menjelaskan, awalnya Kepolisian menyidik temuan gudang penimbunan premium tersebut atas dugaan Tindak Pidana (TP) Migas.
Berdasarkan pengecekan gudang, di lokasi tersebut polisi menemukan dua orang atas nama Wahyu Aditya, yang mengaku sebagai penjaga gudang dan Febri sebagai karyawan yang ditunjuk Pendi, pemilik tempat tersebut. Ketiganya sudah dimintai keterangan.
Di tempat tersebut, polisi juga sudah mengamankan barang bukti yaitu 10 buah baby tank ukuran 1.000 liter, kemudian 30 derigen ukuran 35 liter, 7.000 liter BBM Premium, 1 buah mesin Robin ukuran 3 inci dan 1 buah timbangan duduk jarum ukuran 60 Kg.
Pengakuan Pendi, BBM premium dibeli dari Dumai dengan harga Rp7.200 per liter, kemudian dijual kembali ke masyarakat dengan derigen dengan ukuran 35 liter dengan harga Rp270.000. Setelah dihitung per liter pemilik menjualnya kepada masyarakat itu dengan harga Rp7.700 per liter.
Terkait temuan ini, Polres Rohul menerapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 untuk menjerat Pelaku. Dalam UU tersebut disebutkan kegiatan usaha minyak bumi dan atau kegiatan usaha gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu adalah izin usaha pengolahan, izin usaha pengangkutan, izin usaha penyimpanan dan izin usaha niaga.
"Kegiatan yang dilakukan Pendi masuk ke dalam usaha penyimpanan dan usaha niaga, awalnya kita menerapkan aturan yang diatur dalam pasal 53 sesuai ketentuan pidananya," jelasnya.
Setelah meminta keterangan ahli dari BPH Migas, didapatkan penjelasan bahwa kegiatan yang termaktub dalam Undang-Undang 22 Tahun 2001 sudah diubah ke Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 yakni Undang-undang Cipta Kerja Pasal 23 Ayat 1, dimana sanksinya adalah sanksi administratif bukan pidana. Adapun sanksi administratif yang dimaksud dalam undang-undang Omnibuslaw tersebut yaitu penghentian usaha.
Kepolisian juga tidak bisa menerapkan sanksi administratif kepada pelaku dan sanksi tersebut hanya bisa diterapkan oleh PPNS bidang Migas. Namun sebelum pemilik mengurus izin maka barang bukti akan tetap ditahan kepolisian.
"Dulunya kita berpegangan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, itu kita bisa melibatkan seluruhnya yang terlibat di situ, baik dia penjaga maupun pemilik. Namun setelah itu adanya Undang-undang Cipta Kerja yang hanya menerapkan sanksi administratif," papar BJ Tanjung.
Ditanya apakah BBM jenis premium dikatagorikan BBM subsidi, Tanjung menjelaskan, sesuai Perpres nomor 191 tahun 2014 tentang Pendsitribusian dan harga jual eceran BBM, BBM jenis premium dikatagorikan sebagai BBM khusus penugasan dimana tidak lagi disubsidi pemerintah.
Dengan demikian, maka penjualan BBM premium tersebut tidak lagi dibatasi sama halnya dengan Pertalite dan Pertamax.
"Seandainya premium itu masih katagori subsidi, maka Undang-undang Cipta Kerja tidak berlaku dan sanksi pidana bisa diterapkan ke pelaku penimbunan," ungkap BJ.
IPTU BJ Tanjung juga menyebutkan, dari keterangan Pendi, BBM jenis Premium yang saat ini diamankan di Makopolres Rohul dibeli dari Pertamina Dumai seharga Rp7.200 per liternya.
"Dikarenakan dalam kasus ini kita terbentur Undang-undang, kita tidak mendalami lagi," ucap Iptu BJ Tanjung.
Penulis: Syaiful
Editor: Rico
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :