JAKARTA - Ombudsman RI saat ini sedang melakukan pengawasan perkembangan impor empat komoditas pangan seperti beras, gula, garam dan jagung.
Peringatan dini ini disampaikan untuk mengantisipasi adanya maladministrasi dan masalah terkait impor empat komoditas itu menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Hal ini dilakukan guna Pada 2019 diperkirakan impor garam masih menjadi opsi bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri dengan standar kadar NaCl lebih tinggi dibanding produk lokal.
“Untuk itu, kami (Ombudsman) mengumumkan peringatan dini (early warning) kepada pemerintah dan pihak terkat dalam tata kelola implementasi kebijakan pangan,” ujar Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih.
Dia menambahkan, ketidakpastian data produksi akibat maladministrasi pendataan yang berpangkal pada konflik kepentingan dalam penetapan data produksi telah menyebabkan BPS mengumumkan penghentian publikasi daya produksi di 2015.
Alamsyah menyampaikan temuan Ombudsman berdasarkan data impor pangan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga dibandingkan dengan jumlah impor era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertama untuk impor beras, selama lima tahun periode kedua pemerintahan SBY, total impor beras sebanyak 6,5 juta ton. Sementara total impor selama empat tahun pemerintahan Jokowi mencapai 4,7 juta ton impor.
"Perkembangan 2018 harga beras naik sementara stok Bulog 2,1 juta ton. Pemerintah tak perlu
memerlukan impor di tahun 2019, kecuali terjadi krisis besar," saran Alamsyah.
Kedua, terkait impor gula. Pemerintah SBY mengimpor 12,7 juta ton gula pada lima tahun periode kedua, sedangkan Jokowi sudah mengimpor gula sebanyak 17,2 juta ton.
Pada 2019, Ombudsman memperkirakan masih akan ada impor gula pada jenis tertentu yang belum bisa dipenuhi oleh gula lokal.
"Dari 2015-2018 produksi lokal turun terus, warning agar impor gula di 2019 ini, verifikasi dengan cermat kebutuhaan industri jangan sampai industri yang gunakan dipasok melalui gula impor," jelas dia.
Kemudian utuk impor garam, dalam kurun waktu empat tahun (2015-2018), impor komoditas garam mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan total impor sebesar 12,3 juta ton, tertinggi pada tahun 2018 yang mencapai 3,7 juta ton.
Pada 2019 diperkirakan impor garam masih menjadi opsi bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri dengan standar kadar NaCl lebih tinggi dibanding produk lokal.
"Kami menyarankan lakukan pengetatan verifikasi berdasarkan kebutuhan industri dan lakukan audit stok terhadap yang ada. Jangan sampai (garam impor) rembes ke pasar dan sebabkan harga dari petani hancur," tegas dia.
Terakhir, terkait impor jagung. Selama pemerintahan Jokowi, jumlah impor hanya mencapai 5,7 juta ton, lebih rendah dibandingkan era SBY mencapai 12,9 juta ton.
"Penurunan drastis terjadi pada tahun 2016 karena Pemerintah membatasi impor jagung hanya 1,3 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,3 juta ton dengan alasan produksi dalam negeri meningkat dan sebagai upaya melindungi petani," jelas Alamsyah.
Di akhir tahun 2018 harga gandum dunia meningkat akibat gangguan panen di Australia. Impor gandum untuk pakan diperkirakan menurun menjadi 1,3 juta ton karena Rusia dan Ukraina membatasi ekspor gandum.
Kelangkaan jagung untuk pakan mengundang protes sejumlah peternak. Akibat hal tersebut, pada tahun 2019 keran impor jagung untuk pakan dibuka kembali, bahkan tanpa kuota.
"Untuk jagung segera evaluasi terhadap impor ini untuk kebutuhan, dibuka tanpa kuota juha berbahaya jadi identifikasi kebutuhannya berapa. Beberapa waktu lalu putuskan tanpa kuota itu berbahaya peringatan dini Ombudsman sarankan segera evaluasi impor tersebut pikirkan kuota di 2019," tukas dia. (*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :